Wednesday, November 27, 2013
YU'TII KULLADZII HAQQIN HAQQAH
YU'TII KULLADZII HAQQIN HAQQAH
Salah satu ajaran Wahidiyah yang seringkali
diabaikan dalam kehidupan saat ini, adalah yu’tii
kulladzii haqqin haqqah. Kalimat ini sederhana
namun memiliki peran yang penting dalam kehidupan
manusia. Bahkan kebahagiaan dan kesengsaraan
sangat tergantung dengan pelaksanaan ajaran ini.
Mulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat
hingga negara sangat memerlukan pelaksanaan
ajaran ini. Saat kita seringkali menemui berbagai
bentuk kerusuhan dan ketidak stabilan dalam
masyarakat.
Dalam bidang politik, kita dibuat resah dengan hiruk
pikuk skandal Bank Century. Dalam bidang sosial,
kita dibuat resah oleh banyaknya kerusuhan,
demonstrasi dan berbagai ketidakstabilan dalam
masyarakat. Dalam bidang ekonomi, kita dibuat
kalang kabut dengan berbagai fliktuasi yang tidak
pasti. Salah satu faktor yang menyebabkan
instabilitas dalam kehidupan adalah tidak adanya
keadilan.
Kata adil ini berasal dari kata al ‘adaalah. Adil atau
‘adaalah ini sering dimaknai dengan meletakkan
sesuatu pada tempatnya. Secara jelasnya bahwa
keadilan adalah sebuah keadaan dimana sebuah
aturan main yang melindungi hak-hak semua pihak
terpenuhi dengan baik. Dalam prakteknya, Hadrotul
Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’rof QS wa RA
merumuskanya dengan kalimat singkat, yaitu yu’tii
kulladzii haqqin haqqah (memenuhi hak semua
pemilik hak).
Sekali lagi, kalimat ini walaupun sangat singkat,
namun memiliki makna yang sangat dalam dan efek
yang luas dalam kehidupan manusia. Sebab dengan
terpenuhinya hak-hak semua pemilik hak, otomatis
akan tercipta harmoni dan keselarasan dalam
kehidupan.
Sebagai lawan dari keadilan adalah kedzaliman yang
berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Hal ini terjadi jika hak-hak para pemilik hak tidak
terpenuhi dengan baik. Otomatis hal ini akan
menimbulkan berbagai reaksi dan upaya tuntutan
pemenuhan hak tersebut. Dan hal ini akan
menimbulkan berbagai ketidakstabilan dalam
kehidupan.
Sebagian orang ada yang mengumpamakan keadilan
sebagai sebuah neraca. Ketika kedua sisi neraca
terpenuhi dengan seimbang, maka timbangan
tersebut akan stabil dan tenang. Keadaan ini sering
pula disebut sebagai moderat (I’tidaal). Sebaliknya,
ketika salah satu dari kedua sisi tidak seimbang
dengan sisi yang lain, maka timbangan tersebut akan
timpang. Karena itulah, maka Rasulullah SAW
bersabda,
”Celakalah orang-orang yang berlebih-lebihan.” (HR.
Muslim).
Keadaan ini dalam kehidupan dikenal dengan istilah
tatharruf (ekstrim), dimana terjadi pengabaian dan
kedzaliman hak-hak terhadap pihak-pihak tertentu
yang memiliki hak tersebut. Padahal Allah SWT dan
Rasulullah SAW tidak menghendaki kedzaliman. Tapi
menghendaki keadilan bagi tiap-tiap mukmin.
Keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan
keluarga.
Sesungguhnya seluruh semesta ini oleh Allah diatur
dalam aturan keseimbangan. Dalam tingkat individu
misalnya, masing-masing tubuh manusia memiliki
hak yang harus dipenuhi. Perut memiliki hak,mata
memiliki hak, telinga memiliki hak dan seterusnya
dan seterusnya. Ketika manusia mengabaikan hak-
hak anggota tubuhnya, maka berarti ia telah
melakukan kedzaliman terhadap anggota tubuhnya
tersebut. Dan kedzaliman ini akan menimbulkan
kerusakan pada tubuh tersebut. Misalnya jika
seseorang mengabaikan hak makan atas perutnya
dan hanya mengisi hidupnya dengan penuh shalat.
Maka sudah tentu tubuhnya akan lemah. Atau ketika
seseorang mengabaikan hak istirahat untuk
tubuhnya, maka tubuh akan segera rusak dan sakit.
Sehingga dengan demikian, ia tidak akan bisa
berbuat baik untuk seterusnya. Bahkan mungkin ia
akhirnya akan menjadi beban bagi orang lain.
Dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa suatu saat
ada tiga orang mengunjungi rumah istri-istri
Rasulullah SAW dan menanyakaan tentang ibadah
beliau. Ketika mereka mendapatkan penjelasan
tentang ibadah beliau, maka mereka ini seolah-olah
menganggap ibadah Rasulullah SAW terlalu ringan.
Mereka mengatakan, ”Kita jangan menyamakan
dengan Rasulullah SAW. Bukankah beliau (beribadah
ringan tersebut karena) telah diampuni dosa-dosa
beliau, baik yang telah lewat maupun yang akan
datang!” Salah seorang diantara mereka berkata,
”Adapun saya maka saya akan shalat malam (tidak
akan tidur malam).” Yang lain berkata, ”Saya akan
puasa selamanya dan tidak akan berbuka.” Yang lain
berkata, ”Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan
menikah selamanya.” Rasulullah SAW kemudian
datang kepada mereka dan berkata,
”Kaliankah yang mengatakan demikian demikian?
Ingatlah… demi Allah sesungguhnya aku adalah
orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada
Allah. Tetapi toh aku berpuasa dan berbuka, aku
shalat malam dan tidur juga, aku juga menikahi
wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku,
maka ia bukan bagian dari golonganku.” (Muttafaq
‘alaih).
Ada satu riwayat lain yang menunjukkan bahwa yu’tii
kulladzii haqqin haqqah sangat penting untuk
dilakukan. Saat itu, Rasulullah SAW
mempersaudarakan Salman Al Farisi dengan Abu
Darda’ Al Anshari. Suatu saat, Salman mengunjungi
rumah Abu Darda’. Disana ia menemukan istri Abu
Darda’ berpakaian tidak rapi (nglombrot dalam
bahasa jawa). Salman kemudian bertanya, ”Ada apa
denganmu, kok pakaianmu asal-asalan begitu?” Istri
Abu Darda’ menjawab,”Saudaramu Abu Darda’ tidak
lagi membutuhkan dunia.” kemudian Abu Darda’
datang dan membuatkan makanan untuk Salman.
Setelah makanan jadi, Abu Darda berkata,”Makanl
ah… saya nggak makan karena puasa.” Salman
menjawab, ”Aku tidak akan makan sampai kamu
juga makan.” Kemudian mereka pun makan
bersama-sama. Ketika malam tiba, Abu Darda’
bermaksud shalat. Namun Salman menyuruhnya
tidur. Setelah tidur beberapa saat, Abu Darda’ bangun
dan akan shalat malam. Namun Salman masih
menyuruhnya tidur lagi. Ketika akhir malam tiba,
Salman berkata, ”Sekarang mari kita shalat!”
kemudian mereka shalat. Salman kemudian berkata,
”Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas kamu,
dirimu juga mempunyai hak atas kamu, dan
keluargamu juga mempunyai hak atas kamu.
Berikanlah hak-hak kepada setiap pemiliknya.”
Kemudian Abu Darda’ mendatangi Rasulullah SAW
untuk mengadukan Salman. Rasulullah SAW
bersabda,
”Salmanlah yang benar.” (HR. Bukhari).
Apa yang dilakukan oleh Salman RA ini bukan berarti
bahwa Nggentur tirakat dilarang didalam Islam.
Salman dalam hal ini melakukan upaya therapy
(pengobatan) kepada Abu Darda’ yang telah
sedemikian tenggelam dalam kehidupan spiritual
sehingga ia mengabaikan sekian banyak hak-hak
kemanusiaan kepada istri dan keluarganya. Salman,
dalam hal ini berpendapat bahwa ketika sebuah besi
bengkok ke kanan, maka untuk menjadi lurus
kembali tidak cukup hanya dengan membengkokkan
kea rah tengah. Sebab jika bengkokan tersebut hanya
kearah tengah, maka dengan segera besi itu akan
kembali ke arah kanan. Nah, agar besi tersebut lurus
kembali, besi tersebut perlu dibengkokkan kearah kiri
agar kecenderungan bengkok ke arah kanan pada
besi tersebut membawa besi lurus kembali di garis
tengah.
Demikanlah kecakapan spiuritual Salman RA. Ia
memang menjadi salah seorang sahabat Rasulullah
SAW yang memiliki kapasitas untuk menjadi Mursyid
atau dokter spiritual. Hal ini terbukti dengan
kedudukan Salman sebagai salah seorang mata
rantai silsilah dalam sebuah tarekat dimana Salman
menerima kemursyidan tersebut dari Khalifah Abu
Bakar Ash Shiddiq RA.
KESEIMBANGAN DALAM KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT
Manusia bukan makhluk individu semata. Namun ia
juga makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran
orang lain untuk kelangsungan hidupnya. Untuk
makan sesuap nasi misalnya, dibutuhkan keterlibatan
banyak manusia. Bahkan bisa mencapai ribuan.
Seseorang yang akan memakan sesuap nasi pasti
membutuhkan alat-alat memasak. Dan adanya alat-
alat memasak ini melibatkan sebuah pabrik yang
melibatkan sekian banyak karyawan. Seseorang yang
akan makan sesuap nasi juga membutuhkan beras.
Tentu melibatkan petani yang menanam padi. Dalam
proses penanaman padi juga dibutuhkan peralatan
pertanian. Disini diperlukan keterlibatan pabrik alat-
alat pertanian yang melibatkan karyawan. Dan para
karyawan serta petani yang bekerja juga
membutuhkan pakaian. Maka disana juga melibatkan
penjahit, toko kain, pabrik pakaian dan demikianlah
seterusnya. Semua ini menunjukkan bahwa manusia
selalu membutuhkan kehadiran orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat, sudah tentu
masing-masing manusia memiliki kewajiban untuk
menunaikan hak-hak orang lain. Seorang karyawan
berkewajiban menunaikan hak-hak majikanya. Ia
harus bekerja professional. Demikan juga seorang
majikan mempunyai kewajiban untuk menunaikan
hak-hak karyawanya. Hak untuk mendapatkan upah
misalnya. Seorang warga masyarakat juga memiliki
kewajiban terhadap warga masyarakat lain. Mereka
harus memberikan kenyamanan dan keharmonisan
satu dengan yang lain. Seorang pedagang memiliki
kewajiban untuk memenuhi hak-hak pembelinya
dengan bersikap jujur dalam berdagang. Demikian
juga seorang pembeli berkewajiban untuk mebayar
biaya barang yang dibelinya.
Demikianlah, maka keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat sengat tergantung sejauh mana masing-
masing pihak manunaikan hak-hak pihak lain. Ketika
hak-hak pihak lain tersebut tertunaikan dengan baik,
maka disana akan ada keharmonisan kehidupan.
Namun sebaliknya, ketika hak-hak pihak lain di
abaikan, maka akan terjadi banyak kekacauan.
KESEIMBANGAN DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA
Salah satu karakteristik dari Syariat Islam adalah al
‘adaalah (adil). Artinya adalah bahwa salah satu
tujuan pelaksanaan Syariat islam adalah
tertunaikanya hak-hak masing-masing individu
secara penuh tanpa ada setu pihak pun yang
diabaikan haknya. Hal ini sesuai dengan prinsip yu’tii
kulladzii haqqin haqqah. Allah SWT berfirman:
”Bersikap adillah, karena keadilan itu mendekatkan
kepada takwa.” (QS. Al Maidah: .
Dalam hal ini, masing-masing pihak komponen
Negara, yaitu rakyat dan pemerintah haruslah
menunaikan kewajibanya masing-masing. Penunaian
kewajiban ini pada dasarnya adalah pemenuhan hak-
hak pihak lain. Dari pihak rakyat, maka mereka harus
menaati keputusan-keputusan pemerintah. Allah SWT
telah memerintahkan kaum Mukminin untuk menaati
para pemimpin mereka dengan firman-Nya:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59).
Rasulullah SAW berpesan,
”Kewajiban muslim adalah mendengarkan dan
menaati (pemimpin) dalam apa-apa yang ia sukai
atau ia benci. Kecuali jika ia diperintahkan untuk
maksiat. Maka sama sekali ia tidak boleh
mendengarkan dan menaatinya.” (HR. Muslim).
Sebaliknya pula, seorang pamimpin haruslah juga
memenuhi hak-hak rakyatnya. Hal ini karena Islam
pada dasarnya adalah agama keadilan dan
pembebasan dari berbagai bentuk penindasan dan
kedzaliman. Rasulullah SAW adalah manusia yang
gandrung kepada keadilan,beliau bersabda,
”Sesungguhnya mereka yang adil disisi Allah akan
berada di atas mimbar dari Nur. Mereka ini adalah
manusia yang adil dalam keputusan hukum mereka,
adil terhadap keluarga mereka dan adil terhadap apa
yang menjadi kekuasaan mereka.” (HR. Muslim)
Sedang terhadap mereka yang dzalim, beliau
bersabda,
”Barangsiapa yang oleh Allah diberi wewenang
terhadap orang muslim kemudian ia menghalangi
kebutuhan mereka, keinginan mereka dan
menghalangi kaum fakir dari kalangan mereka, maka
Allah juga akan menghalangi dia dari kebutuhanya,
keinginanya dan kefakiranya di hari kiamat.” (HR.
Abu Dawud dan At Trimidzi/ Riyadhush Sholihin hal
112).
Rasulullah SAW juga memperingatkan Mu’adz bin
Jabal ketika Mu’adz hendak baliau kirim ke Yaman.
”Takutlah engkau terhadap doa orang tertindas,
karena sesungguhnya antara doanya dan Allah tidak
ada pembatas.” (Muttafaq ‘alaih/ Riyadhush Sholihin
hal. 113).
Bukan hanya sampai disitu, Rasulullah SAW masih
mendoakan terhadap mereka yang dzalim dan adil
dengan doa sebagai berikut,
”Yaa Allah, siapa saja yang memegang suatu urusan
umatku kemudian mempersulit mereka, maka
persulitlah ia. Dan siapa saja yang memegang suatu
urusan umatku kemudian ia bersikap sayang kepada
mereka, maka sayangilah ia.” (HR. Muslim/
Riyadhush Sholihiin hal. 316).
Rasulullah SAW juga memesankan kepada umatnya
agar tidak menolong para penguasa dzalim. Beliau
bersabda,
”Akan ada sesudahku para penguasa yang berbohong
dan dzalim. Maka barangsiapa yang membenarkan
kebohongan mereka dan menolong mereka dalam
melakukan kedzaliman, maka ia bukan bagian dariku
dan aku juga bukan bagian darinya. Dai tidak akan
datang ke haudh (danau)ku.” (HR. At Turmudzi/
Shahih/ Al Mughni/ II/ Hal. 140).
Karena itulah, Islam pada masa awal –awal mendapat
sambutan yang luar biasa dari mereka yang
mendambakan keadilan. Di Makkah, kaum muslimin
banyak dari kalangan budak yang selama ini
mendapatkan penindasan dari para majikan. Di
antara mereka adalah Bilal, Sumayyah, Yasir, Amar
bin Yasir, Shuhaib dan masih banyak lagi. Mereka
adalah para budak yang kelak mendapatkan peranan
penting dalam peranan Islam.
Ketika kaum muslimin meluaskan dakwah mereka di
Syiria, mereka mendapatkan sambutan yang luar
biasa dari penduduk asli Syiria, walaupun mereka
beragama Kristen. Majalah Kristen Pensyil edisi 38/
1999 memuat salah satu surat masyarakat Kristen
Syiria kepada Ubaidah, Jendral Islam yang memimpin
misi Islam saat itu, mereka menulis surat sebagai
berikut, ”Saudara-saudara kami kaum muslimin,
kami lebih bersimpati kepada saudara daripada
orang-orang Roma/ Byzantium, meskipun mereka
seagama dengan kami. Karena saudara-saudara lebih
setia kepada janji, lebih berbelas kasih kepada kami
dengan menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang
tidak adil. Pemerintah Islam lebih baik dari
pemerintah Byzantium, karena orang-orang
Byzantium itu telah merampok harta-harta dan
rumah-rumah kami.”
Bambang Noorsena, seorang pemimpin Gereja
Ortodox Syiria di Indonesia menulis dalam majalah
diatas, ”Justru di kalangan Kristen Ortodox Syiria
dikenal sebuah slogan,’Segala puji bagi Allah yang
telah membebaskan kami dari kekuasaan Kristen
Yunani yang menindas kami, kemudian
menempatkan kami dibawah penguasa Arab Muslim’.
Sebab harus diakui bahwa penguasa Arab Muslim
memang menjamin keselamatan jiwa, harta, Gereja
dan salib-salib mereka, seperti yang dijamin dalam
piagam yang dibuat Nabi Muammad SAW dan
sahabat-sahabatnya.”
Inilah wujud prinsip keadilan Islam. Seorang Muslim
tidaklah pantas untuk terlibat dalam kedzaliman
kepada siapapun, walaupun kepada seorang kafir.
Ketika kemudian datang masa penguasa dzalim
memerintah dunia Islam, maka Islam pun selalu
mempersembahkan para pejuang keadilan yang
lantang berbicara di depan para penguasa. Diantara
mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Al
Buwaithi (murid Imam Syafi’i), Imam Sa’id bin Jubair,
Imam Zaid bin Ali dan masih banyak lagi yang lainya.
Semoga mereka selalu mendapatkan keridhaan Allah
SWT, amien.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment