Tuesday, November 26, 2013

FUNGSI MANUSIA DIHIDUPKAN

Fungsi Manusia Dihidupkan Marilah kita renungkan dan kita fikirkan dengan hati dan fikiran yang jernih tentang fungsi manusia dihidupkan oleh ALLOH Subhanahu Wata’ala di dunia ini. Kita perhatikan firman ALLOH Subhanahu Wata’ala : Artinya kurang lebih : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : ”Sesungguhnya AKU hendak menjadikan kholifah di muka bumi” (2- Al Baqoroh : 30) Yang dimaksud “Kholifah” adalah Nabi Adam Alaihissalam yang menurunkan seluruh ummat manusia. Jadisetiap manusia, sebagai keturunan Nabi Adam Alaihissalam dengan sendirinya sebagai ahli warisnya dan sekaligus menjadi Kholifah ALLOH di muka bumi. Secara Adami berarti setiap manusia mempunyai tugas kewajiban dan tanggung jawab menjalankan kekholifahan. Sebagai Kholifah ALLOH di bumi ummat manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini agar menjadi kehidupan yang baik dan benar yang diridloi ALLOH Subhanahu Wata’ala Di dalam menjalankan fungsinya sebagai Kholifah ALLOH di muka bumi, manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti haluan garis besar dan tujuan pokok yang harus dituju. Antara lain seperti yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 : Artinya kurang lebih : “Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (51-Adz Dzaariyat : 56) Jadi segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, situasi dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk pengabdian diri (beribadah) kepada ALLOH Subhanahu Wata’ala semata-mata karena ALLOH (LILLAH) sebagai pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”. Shahabat Ibnu Abbas Radliyallohu anhuma seorang mufassir Al Qur’an yang terkenal sejak zaman Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam, menafsirkan kalimat “Liya’buduuni” dalam ayat tersebut dengan “Liya’rifuuni”. Artinya agar supaya jin dan manusia ma’rifat, mengenal atau sadar kepada-KU (ALLOH). Menurut Syekh Al-Kalabi disebutkan dalam Tafsir Al-Qurthubi, “Liya’buduni” ditafsiri “Liyuwahhiduuni”. Artinya agar men-tauhid-kan (memahaesakan)_AKU. Dua penafsiran tersebut ada keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala harus mengenal-NYA lebih dulu. Mana mungkin seseorang men-tauhid-kan Alloh Subhanahu Wata’ala sebelum mengenal-NYA. Jadi segala hidup dan kehidupan manusia (dan jin) menurut tafsir ini harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai sarana untuk ma’rifat atau mengenal ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang Maha Pencipta sampai bisa menyadari, meyakini dan mengi’tikadkan dalam hati bahwa segala sesuatu yang tercipta adalah ALLOH Subhanahu Wata’ala Sang Maha Pencipta-lah yang menciptakannya, sehingga dalam hati mengakui dan merasa bahwa pada hikikatnya tiada daya dan kekuatan melainkan dari ALLOH Subhanahu Wata’ala. Dalam istilah lain senantiasa men-tauhidkan (memahaesakan) kepada ALLOH atau menerapkan BILLAH; Begitu pula ummat manusia tidak mungkin bisa melaksanakan pengabdian diri kepada ALLOH (LILLAH) dan man-tauhid-kan BILLAH sesuai dengan ridlo-NYA tanpa adanya pembimbing. Maka untuk membimbingnya ALLOH Subhanahu Wata’ala memilih di antara hamba-hamba-NYA dijadikan Nabi Pemimpin ummat, dan diantara Nabi-Nabi ada yang ditetapkan sebagai Rosul Utusan-NYA dengan dibekali Kitab Suci sebagai tuntunan hidup bagi ummat manusia. Nabi dan Utusan ALLOH Subhanahu Wata’ala yang terakhir adalah Junjungan kita Nabi Besar Muhammad Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam dengan Kitab Suci Al-Qur’an sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia sampai akhir zaman / Yaumil qiyamah. Dengan diutusnya Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam ummat manusia diwajibkan menyaksikan bahwa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam sebagai Utusan Alloh dan mentaati atas perintah-perintahnya.Dalam pelaksanaan taat kepada Beliau disamping pelaksanaan amaliah lahiriyah tidak kalah pentingnya penataan niat / tujuan dalam batin / hati. Yakni dalam pelaksanaan taat secara lahiriyah disamping didasari ibadah semata-mata karena ALLOH (LILLAH) juga harus disertai tujuan mengikuti / mentaati Rosululloh (LIRROSUL). Penerapan seperti inilah yang dibimbingkan pula dalam Ajaran Wahidiyah. Jasa seseorang tidak boleh diabaikan / dilupakan, melainkan harus diakuinya dan disyukuri, baik dengan ucapan dan perbuatan maupun dengan pengakuan / perasaan batin. Lebih-lebih jasa atas diperolehnya suatu ni’mat dan anugerah yang amat besar nilainya. Yakni karunia iman dan islam. Padahal dari sekian makhluq yang ada di alam ini tiada satupun yang berjasa kepada kita manusia melebihi jasa Rosululloh Shollalloohu 'alaihi wasallam yang “rahmatan lil’alamiin”. Tiada satupun amal kebaikan yang terlepas dari jasa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam. Untuk itu setiap kita melakukan amal kebaikan seharusnya tidak melupakan jasa Beliau , bahkan harus selalu merasa bahwa segala kebaikan yang kita lakukan dan kita terima atas jasa Beliau Shollalloohu 'alaihi wasallam. Istilah Wahidiyah selalu menerapkan BIRROSUL. Tiada seorang pun yang hidup di alam ini yang tidak memerlukan atau tidak berhubungan pihak lain. Kelahirannya saja di alam fana ini sudah memerlukan banyak pihak. Setiap ada hubungan dengan pihak lain di situ pasti timbul dengan sendirinya suatu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Penyimpangan dan penyalahgunaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban adalah suatu kezhaliman. Kezhaliman yang dilakukan oleh seseorang akan mengakibatkan gelapnya hati dan penghalangnya pintu kesadaran, keimanan, ketaqwaan kepada Dzat Maha Suci serta akan memperberat tuntutan di alam baqa’ nanti.Dalam Wahidiyah diberi bimbingan secara garis besar tentang kewajiban pemenuhan hak terhadap pihak lain yang diistilahkan dengan YUKTII KULLA DZII HAQQIN HAQQOH (memberikan suatu hak kepada yang berhak menerimanya) dengan prinsip TAQDIIMUL AHAM FAL-AHAM TSUMMAL-ANFA’FAL-ANFA’ (mendahulukan sesuatu yang lebih penting (aham) dan yang lebih besar manfa’atnya (anfa’)). Penjelasan tentang apa yang diuraikan dalam muqaddimah ini Insya Alloh akan dibahas lebih luas di bawan ini. Mudah-mudahan bermanfa’at dan diriloinya fid-diini wad-dun-ya wal-akhirah. Amiin. Ikhlaskan "LILLAH" Segala Amal Perbuatan Segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan langsung kepada Alloh dan Rosul-NYA, Shollalloohu 'alaihi wasallam maupun yang berhubungan dengan masyarakat, dengan sesama makhluq pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah maupun yang wenang, asal bukan perbuatan yang merugikan / bukan perbuatan yang tidak diridloi Alloh, melaksanakannya supaya didasari niat dan tujuan hanya mengabdikan diri kepada Alloh Tuhan Yang Maha Esa dengan IKHLAS tanpa pamrih ! (LILLAHI TA’ALA). Penerapan “LILLAH” umumnya ulama’ dan ummat Islam menyebutnya “IKHLASH”. Jika dua kalimat tersebut disatukan menjadi “Ikhlas Lillah”. Umumnya Ulama dan masyarakat umum mengambil kalimat yang depan yakni IKHLAS dan istilah dalam Wahidiyah mengambil yang belakang, yakni “LILLAH” dengan maksud agar lebih mengarah kepada tujuan yang pokok. Karena kalimat ikhlas sudah tercampur dengan pengertian “rela” atau “senang”. Seperti ucapan “saya ikhlas memberikan sesuatu kepada kekasihku”. Ucapan ini belum pasti didasari tujuan semata-mata karena ALLAH (LILLAHI TA'ALA). Kemungkinan besar karena kepada kekasihnya dia rela memberikan sesuatu. Berarti pemberiannya itu karena kekasih (Lil-kekasih) belum karena ALLAH (LILLH). Akan tetapi jika ucapannya “saya memberi seseuatu kepada kekasihku dengan LILLAH", berarti pemberiannya itu didasari ikhlas karena ALLAH (LILLAH). Selain itu dengan ucapan LILLAH sekaligus berdzikir kepada ALLOH. Di kalangan masyarakat sering terjadi pengartian ikhlas yang salah kaprah. Misalnya ; ikhlas adalah “ketika seseorang melakukan amal ibadah dan setelah itu dia melupakannya seakan-akan tidak pernah beramal”. Dicontohkan seperti orang mengeluarkan ludah, Setelah itu dia tak pernah berangan-angan / tidak merasa kehilangan ludah. Penerapan seperti ini belum mengarah kepada tujuan ibadah karena ALLAH (belum LILLAH); Masih dimungkinkan pelaksanannya itu karena selain ALLAH. Yang lebih tepat ungkapan tersebut digunakan untuk menjaga kemurnian ikhlas LILLAH. Supaya ikhlas LILLAH-nya tidak rusak dengan timbulnya riya (pamer) atau membanggakan diri (ujub), maka di antara cara menjaganya seperti perkataan tersebut. Ada lagi yang mengatakan : “Saya bekerja untuk mencari bekal ibadah”. Ucapan seperti inijika diterapkan dalam hati masih belum mengarah kepada tujuan LILLAH. Benarkah hasil kerjanya nanti untuk ibadah kepada ALLAH atau hanya untuk menuruti kesenangan nafsuinya ? Masih belum jelas dan dikhawatirkan penyalahgunaannya. Sedangkan bekerjanya itu sendiri bisa langsung dijadikan ibadah karena ALLAH. Jadi yang lebih tepat adalah “Saya bekerja karena ALLAH (LILLAH)” atau karena melaksanakan perintah ALLAH, atau semata-mata beribadah kepada ALLAH. Seamuanya merupakan penerapan “LILLAH”. Syekh Sahal At-Tasturi berkata ; “Penerapan ikhlas adalah hendaknya gerak diamnya seseorang, baik pada saat sendirian maupun ada orang lain semata-mata hanya karena ALLAH Ta’ala (LILLAH), tidak dicampuri karena sesuatu baik dorongan nafsu, menuruti kehendak / kesenangan nafsu maupun pamrih duniawi lainnya” (Dikutip dari kitab At-Tibyan An-Nawawi Bab 4) Jadi beribadah itu tidak hanya terbatas pada menjalankan syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji yang menjadi rukun Islam itu saja, juga tidak hanya terbatas pada menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti membaca Al Qur’an, membaca dzikir, membaca sholawat, dan sebagainya. Akan tetapi disamping itu semua, segala gerak gerik manusia, segala tingkah laku dan perbuatannya, sepanjang tidak melanggar larangan ALLAH Subhanahu Wata’ala, harus dijadikan sebagai pelaksanaan ibadah kepada ALLAH Subhanahu Wata’ala. Jika hidup manusia ini tidak selalu diarahkan untuk pengabdian diri / beribadah kepada ALLAH, ini berarti manusia telah menyimpang dari haluan hidup dan tujuan dihidupkan sebagaimana yang digariskan ALLOH Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 : Artinya kurang lebih : “Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melain-kan agar supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (51-Adz Dzaariyat : 56) Penyelewengan / penyalahgunaan mandat merupaka suatu kesalahan yang harus segera ditobati. Salah satu syarat yang prinsip yang harus diterapkan dalam hati ketika menjalankan ibadah atau amal perbuatan yang bernialai baik adalah adanya tujuan (niat) di dalam pelaksanaannya. Setiap niat yang baik bisa diikut sertakan dalam tujuan beribadah. Akan tetapi sebagai pondasi yang harus dikokohkan yang seandainya pondasi tersebut hancur akan hancur pula semua yang terbangun di atasnya, yaitu niat beribadah karena ALLOH (LILLAH). Jika tidak disertai niat beribadah, atau ada tujuan yang tidak benar, apapun macamnya perbuatan, perbuatan taat sekalipun, amal perbuatan tersebut bisa jadi tidak dicatat sebagai ibadah. Suatu contoh pelaksanaan sholat fardlu atau sunnah. Jika pelaksanaannya tidak didasari karena ALLAH (LILLAH), misalnya karena ingin memperoleh pujian atau sesuatu dari orang lain, maka sholat tersebut belum bisa dinamakan pengabdian kepada ALLAH yang murni semata-mata karena-NYA (LILLAH). Tapi masih karena selain ALLAH. (Lighoirillah). Amal ibadah yang karena selain ALLOH itu namanya amal “LIN-NAFSI” (hanya menuruti nafsu) atau menyembah nafsu. Padahal ALLAH Ta'ala tidak akan menerima suatu amal kebaikan (ibadah) yang pelaksanaannya karena selain-Nya. Ini namanya “syirik khofi fil-'ubudiyah”  (menyekutukan tujuan dalam pelaksanaan ibadah dengan selain ALLAH);Sekalipun diistilahkan “khofi” tapi tetap berbahaya dan terkecam. Lebih-lebih merupakan suatu amal batin/ dilakaukan dalam hati. Begitu pula amal-amal ibadah fardlu dan sunnat lainnya; Sekalipun sudah tepat syarat dan rukunnya dalam pelaksanaan lahirnya akan tetapi tidak LILLAHdalam hatinya, namanya penipuan kepada ALLAH Subhanahu Wata’ala , kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain. Hal inisangat berbahaya karena akan ditolak oleh ALLAH Subhanahu Wata’ala. Firman ALLAH (Q.S. 2 Al-Baqarah : 9) artinya : “Mereka menipu ALLAH dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak merasa”) Begitu pula sebaliknya; jika suatu amal ibadah yang sudah bisa disertai niat LILLAH akan tetapi pelaksanaan lahirnya tidak sesuai dengan aturan ALLAH dan Rasul-Nya, tidak tepat syarat, rukun dan adab-adabnya maka amal ibadah tersebut menjadi batal. Jadi dalam pelaksanaan ibadah disamping harus tepat tata cara pelaksanaannya secara lahiriyah, juga harus tepat niat dan tujuannya secara batiniyah, yakni semata-mata karena ALLAH (LILLAH); Suatu perbuatan yang bersifat duniawi atau berhukum jawaz / mubah akan berobah menjadi amal ukhrowi atau amal ibadah jika pelaksanaannya didukung / disertai tujuan dan niat semata-mata karena ALLAH (LILLAH);Misalnya; pada saat nafsu seseorang menginginkan makan (bernafsu makan), saat itu pula hati mengarahkan keinginan nafsunya dengan merobah tujuan makannya. Yang semula “karena keinginan atau kesenangan” lalu dirobah menjadi “karena ALLAH(LILLAH)”, tidak karena kesenangan nafsunya. Dengan demikian makan yang dia lakukan itu bernilai ibadah karena ALLAH. Dia menjadi hamba ALLAH bukan hamba nafsu makan. Sekalipun sudah LILLAH namun urusan pelaksanaan syari’atnya makan harus tetap diperhatikan. Misalnya ; makanannya harus halal, diawali dengan bacaan Basmalah dan do’a sebelum makan, dan adab-adabnya supaya tetap dijaga. Amal perbuatan yang harus didasari LILLAH hanyalah amal perbuatan yang baik, yang diridloi ALLAH. Perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan oleh syari’at, yang merugikan pihak lain, dan sebaginya sama sekali tidak boleh didasari dengan LILLAH. Misalnya “saya berzina, mencuri, mabuk-mabukan, dll. semata-mata karena ALLAH”. Ini namanya pelecehan dan pengihinaan kepada ALLAH. Dosanya menjadi dobel. Sabda Rosulullohmenegaskan hal niat ini sebagai berikut : “INNAMAL-A’MAALU BIN-NIYYAAT, WA-INNAMAA LIKULLI-MRI-IN MAA NAWAA, FAMAN KAANAT HIJROTUHUU ILALLOOH I WAROSUULIHI FAHIJROTUHUU ILALLOOHI WAROSUULIH. WAMAN KAANAT HIJROTUHU ILAA DUN-YAN YUSHIIBUHAA AW ILA-MRO-ATIN YANKIHUHAA FAHIJROTUHU ILAA MAA HAAJARO ILAIHI” Artinya lebih kurang : “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu ditentukan (dinilai) menurut niatnya; dan sesungguhnya yang diperoleh seseorang itu sesuai dengan yang dia niatkan. Maka barang siapa hirahnya (amalnya) semata-mata menuju Alloh (LILLAH) dan mengikuti Rosul-Nya (LIRROSUL) maka hijrahnya itu sampai kepada Alloh wan Rasul-Nya. Dan barang siap hijrahnya hanya untuk memperoleh harta dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya hanya sampai pada yang dia tuju” (Riwayat Bukhori, Muslim dan lainnya dari Umar Ibnul Khottob Rodiyallohu anhumaa.) Penerapan LILLAH ini letaknya di dalam hati. Kelihatannya seperti sesuatu yang sepele (tiada arti) akan tetapi sangat menentukan sekali. Jika kurang mendapat perhatian atau kurang tepat penerapannya, bisa menghancurkan bangunan ibadah dan amal kebaikan secara keseluruhan. Begitu pula penerapan LILLAH ini tidak mudah, kecuali bagi orang yang mendapat hidayah dan taufiq dari ALLAH. Oleh karena itu disamping berlatih setiap saat juga harus berusaha bagaimana cara memperoleh hidayah dan taufiq tersebut. Cara untuk memperolehnya, dalam Wahidiyah, pengamalnya dibimbing untuk melakukan “mujahadah” dengan pengamalan Sholawat Wahidiyah dan selalu berlatih setiap saat menerapkan Ajaran Wahidiyah yang diantaranya adalah "LILLAH" ini. Sekali lagi harus diingat bahwa yang boleh dan bahkan harus disertai niat ibadah LILLAH adalah terbatas pada perbuatan yang baik / yang tidak terlarang. Adapun perbuatan yang melanggar syari’at atau undang-undang, yang tidak diridloi oleh ALLAH, yang merugikan, baik merugikan diri sendiri dan lebih-lebih merugikan orang lain, sama sekali tidak boleh dilakukan dengan disertai niat ibadah LILLAH. Harus dijauhi dan ditinggalkan. Betapapun kecil dan remehnya. Harus berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi dan meninggalkan ! Dan pada saat menjauhi atau meninggalkan itulah yang harus disertai niat ibadah LILLAH. Jangan sampai dalam kita menjauhi atau meninggalkan munkarot itu didorong oleh kemauan nafsu. Harus LILLAH - beribadah kepada ALLOH, menjalankan perintah ALLOH(Subhanahu wata’ala) ! Titik. Tidak ingin begini dan begitu. Ikhlas LILLAH di sini supaya dijadikan sebagai pondasi dari segala amal. Di atas pondasi itu dibangun berbagai bangunan amal perbuatan, termasuk tujuan / niat lain yang tidak bertentangan dengan syari’at. Misalnya; datang ke rumah saudara. Kedatangannya itu supaya didasari niat “LILLAAHI TA’ALA”Begitu pula tujuan / niat shilaturahim, memberi bantuan, dan sebagainya supaya didasari LILLAH. Sehingga kadatangan, shilaturahim, dan pemberian bantuannya masing-masing tercatat ibadah karena ALLAH. Demikian seterusnya di dalam kita menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at,. Jangan karena terdorong oleh kepentingan nafsu supaya begini dan begitu, agar tidak merusak dan menghancurkan nilai bangunan amal yang kita kerjakan. Masalah pamrih atau berkeinginan terhadap sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan, ingin kepada kebaikan-kebaikan; seperti ingin pahala, surga dan sebagainya atau takut dari sesuatu yang menakutkan ; seperti kesusahan, penderitaan, siksa neraka dan lain sebagainya, itu diperbolehkan. Bahkan sewajarnya harus begitu. Sebab manusia tidak lepas dari sifat basyariyah yang mempunyai keinginan dan harapan serta kemauan-kemauan yang semuanya bersumber dari nafsu, dan nafsu itupun suatu anugrah Tuhan yang diberikan kepada manusia sehingga menjadi makhluk yang lebih lengkap dan paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. Maka nafsu seperti itulah yang harus diarahkan. Diarahkan ke arah yang telah digariskan oleh ALLOH (Subhanahu wata’ala); yaitu “Liya’buduuni” tersebut. Diarahkan untuk ibadah kepada ALLOH (Subhanahu wata’ala). Jika tidak diarahkan, pasti akan terjadi timbunan hawa nafsu yang serakah dan mengakibatkan penyelewengan dan penyalahgunaan yang akibatnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. Bahkan bisa menghancurkan ummat dan masyarakat. Oleh karena itu di dalam berkeinginan atau pamrih seperti di atas harus disertai niat ibadah kepada ALLOH Subhanahu wata’ala dengan ikhlas LILLAH (semata-mata karena ALLOH). Jadi lebih jelasnya, ketika kita bersembahyang, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, membaca Qur’an, membaca dzikir, membaca sholawat dan sebagainya supaya disertai niat beribadah yang sungguh-sungguh ikhlas LILLAH. Jangan sampai kita melakukan semua tadi hanya karena ingin surga, ingin pahala, takut neraka, ingin terhormat, ingin terpuji, ingin kaya dan sebagainya. Begitu juga ketika kita bekerja, belajar, berjuang untuk bangsa, agama dan negara, mengurus dan mengatur rumah tangga, kita ke sawah, ke pasar, ke kantor, ke toko, dan ketika kita makan, minum, tidur, istirahat, mandi dan sebagainya dan sebagainya, selama bukan pekerjaan yang melanggar aturan supaya disertai dengan niat ibadah kepada ALLOH (Subhanahu wata’ala) dengan ikhlas semata-mata karena ALLOH (LILLAH) tanpa pamrih. Begitu juga ketika kita berkeinginan, berkemauan, berangan-angan, berfikir dan sebagainya harus disertai niat ibadah kepada ALLOH. (LILLAH). Jadi benar-benar melaksanakan pernyataan yang kita baca pada setiap sholat yaitu : “INNA SHOLAATI WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHI ROBBIL-ALAMIIN” “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk ALLOH Robbil Aalamiin”. dan menerapkan di dalam hati kandungan ayat yang sering kita baca di dalam Surat Al Fatihah : “IYYAAKA NA’BUDU WAIYYAAKA NASTA’IIN Hanya kepada-MU (yaa ALLOH) kami mengabdikan diri Dengan demikian bagi yang telah mampu menerapkan hal-hal tersebut boleh dikatakan hatinya senantiasa ber-tahlil :“LAA ILAAHA ILLALLOH” (TiadaTuhan melainkan ALLOH”). Ilmiah dan pengertian mudah dipelajari / mudah dihafal. Akan tetapi disamping pengertian, perlu diusahakan penerapan dan pelaksanaan ilmiah yang sudah kita miliki. Tidak cukup hanya dipelajari, dibahas, diperdebatkan keshahihan dasar, didiskusikan, diseminarkan dan lain sebagainya. Kalau tidak diamalkan dan diterapkan dalam hati akan menjadi tambahan penyakit. Sabda Nabi (Shollalloohui alaihi wasallam) yang artinya : “Sesungguhnya ALLAH Ta’ala tidak memandang bentuk lahiriyahmu (kepandaian, kemasyhuran, kedudukanmu) dan harta bendamu, melainkan Alloh Ta’ala memandang hatimu dan amal perbuatanmu” (H.R. Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah, Rodliyalloohu’anhu). Orang yang mempunyai ilmu akan tetapi ilmunya tidak diterapkan / tidak diamalkan, dia sangat terkecam sekali dan akan mengalami bahaya yang sangat berat. Di dalam kitab Nazhom Az Zubad Karangan Asy-Syekh Al-Allamah Ahmad bin Ruslan Asy-Syafi’i dikatakan : “FA’ALIMUN BI’ILMIHII LAN YA’MALAN #MU’ADZDZABUN MIN QOBLI UBBADIL-WATSAN” “Orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya kelak disiksa lebih dahulu daripada penyiksaan para penyembah berhala”. Jadi jelasnya, amal perbuatan apa saja, berupa sholat sekalipun, jika tidak disertai niat ibadah LILLAH otomatis disalahgunakan oleh nafsu atau LINNAFSI, menuruti keinginan nafsu. Dan nafsu adalah sebagai sarang iblis dan syetan. Kelak di neraka tempatnya. (Uraian tentang nafsu lihat hal Mujahadah dalam kolom lain di Harian Bangsa ini). Di dalam Wahidiyah; dengan memperbanyak Mujahadah Wahidiyah disamping terus menerus melatih hati dengan niat LILLAH seperti di atas, Insya ALLAH pengamalnya dikaruniai banyak kemajuan dan peningkatan dalam hal beribadah kepada ALLOH dengan niat ikhlas LILLAH tersebut. Bahkan Alloh telah berjanji akan membukakan jalan kesadaran kepada-NYAbagi orang-orang yang sungguh-sungguh mau berusaha atau bermujahadah. Firman-Nya yang artinya : “ Dan orang-orang yangbersungguh-sungguh menuju kepada Kami, pasti mereka Kami tunjukkan jalan Kami”. (Q.S 29 AL-Ankabut 69). Mari kita mengadakan koreksi kepada diri kita masing-masing. Sudahkah kita senantiasa berikhlash LILLAH dalam segala amal perbuatan kita yang baik ? Kalau sudah, kita harus bersyukur kepada ALLAH (Subhanahu wata’ala) karena keikhlasannya itu semata-mata karena fadlol dari-NYA. Kalau belum bisa ikhlas mari bersama-sama kita berusaha dan berlatih dengan sungguh-sungguh serta berdo’a semoga ALLAH (Subhanahu wata’ala) segera berkenan membukakan pintu hidayah-Nya kepada kita bersama. Amiin DASAR-DASARBERAMAL DENGAN IKHLASH LILLAH a. Firman ALLOH(Subhanahu wata’ala) dalam QS 98 : Al-Bayyinah : 5 : “Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah ALLOH dengan memurnikanketa’atankepada-NYAdalam(menjalankan) agama dengan lurus (dengan ikhlas LILLAH)”. b. Firman ALLOH(Subhanahu wata’ala) dalam Q.S. 51 : Adz-Dzariyat 56 : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka mengabdikan diiri kepada-KU”. c. Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam) bersabda : “Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niat, dan seseorang mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Barang siapa hijrahnya (beramalnya) menuju ALLAH (LILLAH) dan Rasul-NYA (LIRROSUL) maka hijrahnya diterima oleh ALLAH dan Rasul-NYA, dan barang siapa hijrahnya (beramalnya) untuk memperoleh materi atau mempersunting perempuan maka nilai hijrahnya sesuai dengan yang ditujunya ”. (H.R. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa-I dari Sayyidina Umar bin Khotthob ) Yang dimaksud ”A’maalu” dalam hadits adalah semua amal perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at baik berupa ucapan maupun perbuatan anggota badan lainnya. Nilai suatu amal sangat ditentukan oleh niatnya. Jadi segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, siatuasi dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk pengabdian diri / beribadah kepada Allah (Subhanahu wata’ala) sebagai pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”. d. Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam)bersabda : “Ikhlaskan amalmu hanya kerena ALLOH (LILLAH) sebab ALLOH tidak akan menerima amal kecuali amal yang ikhlas kepada-Nya”. e.Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam)bersabda : Dunia seisinya dila’nat (dikutuk oleh ALLOH) kecuali sesuatu yang digunakan/ dilakukan semata-mata mengharap ridlo-NYA (Lillah)” (H.R. Thabrany) KEUNTUNGAN BAGI YANG BERIKHLAS LILLAH a.Firman Alloh (Q.S. 16 An-Nahl- 97) : “Barang siapa mengerjakan amal shaleh (LILLAH), baik laki-laki maupun perempuian dalam keadaan beriman (BILLAH) maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Suatu amal perbuatan seseorang dinamakan shaleh menurut pandangan ALLAH jika dilakukannyadengan ikhlas semata-mata hanya karena-NYA (LILLAH). b. Dalam suatu hadits, Beliau (Shollalloohui alaihi wasallam) bersabda : “Ikhlaskanlah amalmu semata-mata karena ALLOH (LILLAH), maka sedikit amal dengan ikhlas sudah memadai (mencukupi) bagimu”. (HR Abu Mansur dan Ad-Dailami) c., Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam) bersabda : “Tiada seseorang beramal dengan ikhlas karena Alloh selama 40 hari kecuali akan memancar sumber-sumber hikmah dari hati sampai ke lisannya”. (HR. Ibnul Juzy dan Ibnul Addy dari Abi Musa Al-Asy’ary, Ra ). d. Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam) bersabda : “Barang siapa meninggal dunia dia senantiasa berikhlas karena ALLOH semata (LILLAH) dan tiada menyekutukan-NYA (BILLAH) (pada masa hidupnya) serta menegakkan sholat dan menunaikan zakat maka dia meninggal dunia dengan memperoleh ridlo Alloh “ (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Anas bin Malik) e. Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam) bersabda : “Barangsiapa cinta karena ALLOH (Lillah), benci karena ALLOH, memberi karena ALLOH dan menolak (tidak memberi) karena Alloh, maka sungguh telah sempurna imannya”. (HR. Abu Dawud dan Adh-Dhiya’ dari Abi Umamah dengan sanad shoheh). f. Ditegaskan pula dalam hadits Nabi (Shollalloohui alaihi wasallam) yang lain : “Alangkah bahagianya orang-orang yang beramal dengan ikhlas (LILLAH). Mereka itulah sebagai lampu-lampu petunjuk yang menghilangkan kegelapan fitnah"(HR. Baihaqi dan Abu Nu’aim dari Tsauban) g. Ikhlas menurut Imam Ghozaly adalah diam dan geraknya seseorang itu hanya karena ALLOH. (LILLAH) Begitu pula Syekh Zaini Dakhlan berpendapat bahwa ikhlas itu adalahkesamaan antara lahir dan batin bagi seseorang dalam menjalankan suatu amal; Artinya secara lahir ia menjalankan amal sesuai perintah Alloh, dan hatinya berniat semata-mata karena ALLOH (LILLAH). Disamping itu ia tidak akan berubah karena keadaan; baik ada orang maupun tidak. KERUGIAN DAN KECAMAN BAGI YANG TIDAK MENERAPKAN LILLAH Orang yang tidak menerapkan ikhlas LILLAH termasuk dalam firman ALLAH yang artinya : “Mereka menipu AlLLOH dan menipu orang-orang yang beriman. Sebenarnya mereka tiada menipu kecuali kepada dirinya sendiri sedangkan mereka tidak merasa” (Q.S. 2. Al-Baqarah 9) Dalam Hadits Qudsi disebutkan : “ALLOH berfirman: “Aku tidak memerlukan persekutuan dan Aku tidak memerlukan suatu amal yang dipersekutukan dengan selain-KU. Barangsiapa beramal dengan menyekutukanselain Aku (tidak murni karena Aku), maka Aku terlepas darinya”. ( disebutkan oleh Al-faqihAs-Samar-qondy dalam kitab Tanbihul-Ghofilin dari hadits Abi Huroiroh, Ra). Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam) bersabda : “INNALLOOHA LAA YAQBALU MINAL-AMALI ILLAA MAA KAANA LAHUU KHOOLISHON WABTUGHIYA BIHII WAJHUHU” “Sesungguhnya ALLOH tidak menerima suatu amal kecuali amal yang ikhlas(LILLAH) dan dilakukan semata-mata mengharap ridlo-NYA”. (HR.Nasa’i dari Abi Umamah). ALLOH (Subhanahu wata’ala) berfirman (Q.S.15Al-hIjr : 39-40 ) menghikayahkan ucapan iblis : “Iblis berkata: “Yaa Tuhanku, sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku tersesat, pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik perbuatan ma’siatnya di muka bumi ini, dan pasti aku akan menyesatkan mereka, kecuali hamba-hamba Engkau yang berikhlas di antara mereka”. Logikanya orang-orang yang tidak benar-benar beramal dengan ikhlas LILLAH dia dengan mudah akan diombang-ambingkan dalam kesesatan oleh Iblis. Sekalipun kelihatannya beramal baik kemungkinan besar di balik kebaikannya itu ada keburukan bahkan mungkin ada kejahatan yang berlindung. Apabila kejadian seperti ini tidak diperhatikan dan dibiarkan berlarut-larut mewabah ke lubuk hati setiap insan maka akan berakibat fatal. Penipuan (sekalipun dangan cara yang halus), penyalahgunaan hak, kerakusan, kemunkarotan dan sebagainya akan terjadi di semua sektor kehidupan masyarakat. Dengan demikian tidak mustahil lagi jika keadaan ummat manusia semakin tersesat dengan hawa nafsunya dan tidak memperoleh petunjuk dari ALLOH (Subhanahu wata’ala). ALLOH (Subhanahu wata’ala)berfirman dalam(Q.S. 28 - Al-Qoshos 50 : “Tiada seseorang yang lebih tersesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya serta tidak mendapat petunjuk dari ALLOH. Sesungguhnya ALLOH tidak akan memberi petunjuk kepada kaum (orang-orang) yangzhalim”. Rosululloh (Shollalloohui alaihi wasallam)bersabda: “Sesembahan di atas bumi yang sangat dimurkai ALLOH adalah hawa nafsu”. (HR. Thobroni dari Abi Umamah) Al-hamdu Lillah, dalam situasi dan kondisi ummat manusia yang semakin tenggelam dalam lautan kegelapan hawa nafsunya, ALLOH berkenan memunculkan seorang hamba-NYA untuk menyingkap tabir-tabir kegelapan itu dengan menyebarluaskan bimbingan praktis menuju kesadaran kepada ALLOH . Hamba ALLOH yang dimaksud adalah Hadlrotus Syekh KH Abdoel Madjid Ma’rof, Muallif Sholawat Wahidiyah dan perumus Ajaran Wahidiyah. Sebelum dan selama ini masalah ikhlash LILLAH, lebih-lebih penerapan BILLAH dan bimbingan lainnya masih terbatas di kalangan orang-orang khas (tertentu) saja. Belum banyak diketahui lebih-lebih diterapkan oleh ummat manusia secara umum. Bahkan masih ada pendapat bahwa LILLAH BILLAH itu hanya bisa dilakukan atau untuk para Waliyulloh saja. Bukan untuk ummat Islam secara umum. Pandangan tersebut sangat tidak beralasan. Karena Al-Qur-an, Al-Hadits dan syari’at Islam ditujukan kepada ummat secara umum. Khithabnya tidak hanya kepada para Waliyulloh saja. Sekalipun di sana-sini sering menemui hambatan dan tantangan dalam penyampaian bimbingan tersebut, Alhamdu Lillah, dengan pelan-pelan akhirnya bisa dimengerti dan diterima oleh sebagian dari masyarakat. Haadzaa Min Fadhlillaah. Mudah-mudahan dengan dimuatnya dalam situs ini ALLOH (Subhanahu wata’ala) segera menyampaikannya ke dalam lubuk hati para pembacanya dan ummat masyarakat pada umumnya sehingga ummat masyarakat khususnya diri kita masing-masing dan bangsa Indonesia ini segera kembali mengabdikan diri kepada ALLOH (Subhanahu wata’ala). Amiin. Mari hati kita sendiri khususnya dan ummat masyarakat pada umumnya selalu kita panggil dengan panggilan ALLOH (Subhanahu wata’ala) yang berbunyi “FAFIRRUU ILALLOOH” (Larilah kembali kepada ALLOH). Ikhlas LILLAH adalah suatu pelaksanaan syari’at yang dilakukan oleh hati atau syariatnya hati. Sedangkan syari’at itu sendiri masih memerlukan adanya haqiqat. Yang dimaksud haqiqat di sini adalah bertauhid BILLAH. Karena syari’at (sekalipun sudah disertai LILLAH) tanpa haqiqat (BILLAH) bagaikan jasad tanpa nyawa, dan haqiqat (BILLAH) tanpa syari’at (LILLAH) bagaikan nyawa tanpa jasad. Jadi dianggapnya manusia hidup sempurna jikajasadnya berisi nyawa. Begitu pula amal ibadah dianggap sempurna jika LILLAH-nya diserati BILLAH.Bagaimana pengertian dan cara penerapannya ? Insya ALLOH pada kesempatan berikutnya bisa dibahas.. WALLOOHU A'LAMU BISH-SHOWAB.

No comments:

Post a Comment